Minggu, 16 Juli 2017

Cikal Bakal Pengucapan Minahasa Dulu Dan Sekarang


Pengucapan syukur Minahasa sejatinya diadaptasi dari tradisi lama suku Minahasa yang hidup dalam budaya agraris, dengan dianugerahinya tanah subur untuk bercocok tanam hingga hasil alam lainnya baik diair hingga dihutan sehingga manusianya hidup dan bergantung dari apa yang disediakan oleh alam. Atas rasa syukur ini yang telah diberikan oleh alam, oleh orang Minahasa meyakini kesemuanya ini adalah pemberian Sang Pencipta sebagai pemelihara alam ini. Amang Kasuruan Wangko berdaulat penuh atas segala benih yang kita tabur di alam, hingga segala pemenuhan yang lain yang telah disediakan oleh alam tinggal diambil secara cuma-cuma.

Tradisi ‘rumages’ merupakan cikal bakal pengucapan syukur yang kita kenal kini. Tradisi tua ini bagi masyarakat Tumompaso adalah suatu bentuk pengorbanan atas rasa syukur yang telah diterima sepanjang musim bercocok tanam hingga masa panen. Rummages sendiri adalah korban persembahan yang disampaikan pada Amang Kasuruan Wangko (Tuhan) atas semua berkat yang sudah diterima selama ini maupun permohonan yang disampaikan (rumeindeng) atas segala usaha dan perlindunganNya bagi manusia. Persembahan sejati bagi tradisi rumages awal adalah kepala dan darah manusia yang diambil dari suku luar yang diusahakan oleh ‘pamuis’. Korban persembahan ini kemudian ditinggalkan dan diganti dengan korban hewan hingga hasil pertanian.

Pada umumnya di Minahasa dan di wilayah Tumompaso pada khususnya rumages untuk setiap tahunnya dilaksanakan dua kali yaitu pada awal tahun dan pada tengah tahun. Tradisi rumages ini pada masanya di kenal dengan ‘Tumendok Roong Kinatouan’. Tumendok roong kinatouan sendiri merupakan arti dan tujuan sesungguhnya perayaan rumages yang berubah menjadi Pengucapan Syukur. Tumendok roong kinatouan berarti pulang dan berkumpulnya para sanak-saudara yang sudah tinggal dan terpisah satu dengan lainnya untuk kembali ke kampung halaman untuk secara bersama merayakan hari ‘Pengucapan Syukur’. Di Tumompaso sendiri Tumendok Roong Kinatouan dan di Minahasa pada umumnya bisa disebut tradisi ini sebagai sebuah fenomena, karena keutamaannya. Sehingga merasa "berdosalah" jika orang kampung tidak pulang merayakannya.

Memaknai sesungguhnya pengucapan syukur ini ada dua makna yakni ucapan syukur kepada Amang Kasuruan Wangko atas segala berkat dan perlindungannya baik bagi diri pribadi, taranak, hingga roong kinatouan. Dan makna yang kedua sesungguhnya adalah berkumpulnya semua sanak saudara dari segala penjuru bumi untuk merayakan Pengucapan Syukur ini di kampung halaman untuk saling memaafkan, menguatkan dan saling memberi pertolongan satu dengan yang lainnya hingga menata dan membangun tanah leluhur. Dua makna ini masih melekat lewat sastra lisan para tetua Tumompaso yang menyebut “mande ko, kapunyaan’um eng kayobaan taan sa ko ca masere se pook wo eng kakele tou e nu, ca u tou e ko” yang berarti (walaupun engkau memilliki seisi dunia ini namun kamu tidak melihat dan peduli akan sanak-saudara hingga orang sekampung kamu, sesungguhnya engkau bukan manusia berhasil). Intinya makna kedua ini adalah untuk sesuatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi mereka di perantauan untuk bertemu keluarga dan bagi mereka yang sudah berhasil harus memberi sumbangsi pembangunan di tanah leluhur taranaknya. Dahulunya kewajiban ini jika tak dilakukan akan diikuti ‘putung e matua’ atau karma, kondisi sekarang tinggal anda yang menilai.

Sekarang ini pengucapan syukur maknanya kemudian agak bergeser. Masyarakat saat ini lebih cenderung memaknai pengucapan syukur atau biasa disebut kebanyakan orang Minahasa dengan 'pangucapan'  ini untuk mendahulukan menyiapkan makanan istimewa yang berbeda dengan hari biasa dan mengundang saudara, kerabat dan kenalan lainnya untuk datang makan bersama. Terkesan pesta pora, mabuk-mabukan menjadi pelengkap perayaan ini, ujung-ujungnya ‘ba utang dulu supaya dapa babi utang’ hingga dinginnya penjara adalah akhir perayaan ini. Perkelahian berujung korban hingga dampak negative minuman keras dengan merugikan orang lain hingga kecelakaan lalu lintas menjadi pemandangan biasa.

Hanya memang harus diakui pengucapan model saat ini katanya sudah membudaya sehingga sulit dihilangkan, yang jelas ungkapan ini bukan budaya kita ucap “opa mamesah”. Terbukti, meski tokoh agama dan tokoh masyarakat selalu mengimbau agar pengucapan dilakukan secara sederhana. Namun yang terjadi masyarakat tetap membuat pengucapan dengan berpesta pora. Banyak kalangan dari pemerintah hingga tokoh masyarakat berpikir agar kebiasaan ini dapat diatur dan dirubah lagi hingga menjadi situs pariwisata di tanah Minahasa. Satu di antara alasan mendasar, biasanya setiap pengucapan anggota keluarga yang berada di luar daerah, bahkan luar negeri sering menjadwalkan kedatangannya bersamaan dengan pengucapan di tempat kelahirannya.

Hanya memang pengucapan di tanah Minahasa harus kelola lebih menarik lagi. Misalnya, setiap pengucapan pemerintah harus menggelar acara seni budaya, sehingga warga dari luar Minahasa yang datang akan senang dan suka melihat. Modifikasi perayaan pengucapan syukur sejauh ini tidak bisa serta merta menekan kesemarakan pesta pada saat perayaan. Nasih Jaha dan Dodol tetap harus hadir sebagai simbol sebuah pesta. Tuan rumah akan kehilangan wibawa jika tamu yang datang tak membawa pulang dua makanan itu.

Tetap saja biaya besar harus dikeluarkan setiap rumah tangga yang kampungnya sedang merayakan pengucapan syukur. Nada kritis bisa dilontarkan, tetapi biaya yang dikeluarkan itu merupakan ekspresi kepuasan namun tak berarah. Sebuah ungkapan jati diri yang dalam level tertentu malah dianggap sebagai pernyataan iman. Dan ini dianggap merupakan bagian dari sistem produksi ekonomi orang Minahasa. Kritik pemborosan bisa dilayangkan, tetapi tidak serta merta itu menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Sebagaimana Tari Maengket yang tidak akan paripurna jika tidak diselesaikan dalam tiga babak, Pengucapan Syukur juga merupakan suatu nilai budaya yang paripurna bagi Orang Minahasa. Keutuhan sebuah dimensi budaya, dan ini sifatnya alami.
Mungkin yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana tradisi ini tetap bertahan sambil mewarisi nilai-nilai positif yang dikodefikasi dalam kehidupan modern. Sebab biar bagaimanapun, penetrasi globalisasi sudah menjangkau hingga ke kampung-kampung. Wilayah agraris semakin tergusur. Pengucapan tetap harus terus jalan sebagai sebuah identitas budaya, tetapi harus dimaknai lebih mendalam.


Keleystu ke..
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

Tompaso Kita

Jurry Franky Langi
Yaku Ca U Si Tou Sapa-Sapa. Sapake Si Tou Niatean, Masale Touen Se Kayobaan Tumompaso Ni Myatem. Sapakem Ase Patik O Nuwu Anio Kumesot Ase Ate Wo Nontak Tou Rondor Pinatuusan Eng Kanaramen Minahasa An Tumompaso. Makakeli Mey Wo Mongken Wo Moray Kasadaran Nei Eng Kanaramenta Makakelim Pinasui Ila Wo Pakatambak-Tambak Ila. Taney Wo Rumondor Eng Sisilen Situm Eng Patik Ambiay. Muntungke Sa Awean Kinatoroan a Camo Pakasa.. 

Pee'Bo

Flag Counter

Pa'Dior

Popular Posts

Labels

Postingan Baru

Nuwu I Tua, Wo Ngeluan

  • Sa Cita Esa Sumerad, Sa Cita Sumerad Esa Cita.
  • Akad Se Tou Tumow Tou.
  • Pakamatuan Wo Pakalowiden.

Untuk Anda Saya Peduli

Butuh Bantuan Untuk Mengetahui Dan Belajar Tentang Kebudayaan Tompaso? Hubungi Saya dengan rincian tentang pertanyaan atau masukan untuk perkaya Kebudayaan Tumompaso.