Senin, 12 Juni 2017

Investasi Di Tompaso


CATATAN KECIL UNTUK PT PGE VS PEJUANG TUMOMPASO
Realitas aktual kadang kala menjadi mimpi buruk dan mengganggu aktivitas dan kepentingan warga Tumompaso terkadang hanya menjadi mainan dan candaan lucu segelintir oknum penguasa dan para ahli intelek yang bernaung dibalik yang namanya investasi. Sebagaimana mereka pun tidak peduli atau mempertimbangkan realitas kebutuhan hingga hak masyarakat lokal yang seharusnya menjadi bagian penuh atas ketidakadilan selama ini. Mimpi buruk ini ada semenjak kehadiran dengan adanya PT. PGE Area Lahendong, seharusnya nama ini terkesan susah dan antik disebutkan namun menjadi sangat familiar ditelinga warga Tumompaso kalangan bawah sebagai penikmat janji sorga yang termulia dengan realisasi jauh dari harapan masyarakat.

Sudah satu dasa warsa kehadiran PGE di Tompaso raya mulai dari praeksplorasi hingga saat ini dibulan januari 2017 sudah masuk pada tahap produksi. Ingatkah saudara semenjak belum adanya investasi yang dikomandoi PT PGE, kearifan lokal dengan budaya mapalus, sistem kekerabatan yang tinggi, hingga penghormatan pada sesama Tou Tumompaso kini mulai tergerus hingga mengarah pada perpecahan sesama Tou Tumompaso hingga egosentris berlebihan mulai menggejala dan menjadi tontonan sehari-hari. Pengkotak-kotakan warga lokal amat berhasil dilakukan mereka sebagai amunisi jitu pemasukan menyeluruh atas nama investasi apalagi dengan label perusahaan BUMN. Hal dan senjata yang seharusnya tak terjadi didaerah urban atau perkotaan dengan kepentingan hingga egosentris pribadi tinggi.

Dengan beberapa kali revisi UU, PP hingga aturan turunan sampai tingkat paling bawah didaerah ada regulasi yang jelas disana tentang hak dan kewajiban, peran pemerintah dan masyarakat sampai pengawalan dan penegakan hukum diatur disana. Memang sudah banyak (menurut pge) yang sudah diberikan pada masyarakat. Anda ingat adanya bantuan alat pertanian yang ujung-ujungnya dijual demi kepentingan pribadi oknum hukum tua, bantuan kursi dan alat dapur yang sekali lagi diselewengkan oknum hukum tua, bantuan pendidikan peranak yang hanya lima belas ribu rupiah tetapi gaungnya begitu besar, serta pemberian bantuan pada kelompok tani yang itu-itu saja, hingga pemberian bantuan yang tidak merata perdesa semuanya dikemas dengan satu tujuan telah terlaksananya program CSR perusahaan untuk masyarakat.

Yang mengusik pula akan kesadaran kita akan perampasan aset masyarakat yaitu jalan Sinokot hingga perusakan lingkungan dengan matinya 7 mata air di Tompaso yang salah satunya adalah mata air Kamanga atau “Rano Kasuruan” yang menjadi aset budaya lokal Tumompaso. Ketimpangan dan praktek selama ini seharusnya tak terjadi jika negara hadir disana, pemerintah Kab. Minahasa seakan terlalu lemah mengawal hal ini yang seharusnya lewat kepanjang tangannya dalam hal ini camat Tompaso bahkan terkesan menjadi musuh Masyarakat bahkan pasang badan membela PGE.
Sungguh ironis hal ini dibiarkan terjadi bahkan didepan mata pemerintah kesalahan serupa masih saja berani dilakukan sebagai contoh penanaman ribuan pohon dengan program penghijauan di wilayah Tompaso Raya dengan acara dan simbolisasinya sungguh megah, ramai dan spektakuler dengan hadirnya seluruh pejabat pemkab Minahasa dan petinggi pemerintahan di daerah ini. Kelanjutan program penghijauan ini berhenti bahkan diindikasi dikorupsi karena penanaman pohon ini tak dilanjutkan hingga sekarang.

PGE saat ini pasca produksi menghadirkan pula ekses dan potensi kericuhan baru lewat perekrutan tenaga kerja. Klaim dan jatah perorangan lewat penempatan tenaga kerja seakan sudah dikapling segelintir oknum penguasa pemerintahan sampai hukum tua, oknum pejabat PGE sampai rekanan perusahaan seakan menjadi kristalisasi atas nama kolusi memberangus hak masyarakat lokal yang sesungguhnya harus diberdayakan. Indikasinya mungkin terbaca lewat dua kali test perekrutan dimana test perekrutan pertama hanya dilakukan +70 orang secara diam-diam, namun belakangan setelah dikomplain test kedua dilakukan pengumuman secara terbuka sehingga dapat diikuti + 1600 peserta.

APATISME TOU TUMOMPASO
Hal-hal tersebut diatas mungkin bisa menjadi representasi dari fenomena mutakhir akan ketidakpedulian, yang dalam jenis atau tingkat tertentu bisa jadi semacam apatisme (rakyat) pada masalah sosial kita yang kian berat dan rumit. Situasi atau gejala ini menengarai beberapa fakta dan gejala sosial lain, seperti semakin kuatnya egoisme—dalam pengertian sikap individualistis—dalam diri (Tou Tumompaso) kita. Tentu saja realitas psikologis Tou Tumompaso di paksakan menjadi wilayah urban, itu jadi alarm kuat luntur atau lenyapnya salah satu sifat utama (dan luhur) Tou Tumompaso yang diakui, yakni gotong royong, suatu cara hidup di mana persaudaraan, kebersamaan, atau kesetaraan antarmanusia termaktub di dalamnya. Ini juga indikasi bagi ketakberdayaan, frustrasi, putus asa, disorientasi, semua bahan ramuan yang menghasilkan adonan apatisme (sosial) Tompaso kita.

Apa yang getir dan cukup mencemaskan adalah bahwa apatisme itu juga terjadi pada perihal-perihal yang sangat vital dalam kehidupan kita kini. Banyak contohnya: pada umumnya mulai dari kongkalikong politik, konspirasi bisnis-politik dalam berbagai kontrak dengan perusahaan besar, politik uang yang tetap efektif memuluskan para koruptor dan penjahat politik mendapatkan kekuasaan, penegakan hukum yang sangat lemah dan tebang-pilih, ketakhadiran negara dalam berbagai kasus yang mengorbankan rakyat kecil, hingga pembiaran oleh aparat keamanan terhadap pelanggaran dan kejahatan terhadap masyarakat oleh segelintir orang akan penghisapan kekayaan lokal dan kejahatan terhadap nyawa masyarakat. Negara ternyata hadir bukan untuk melindungi dan mengamankan kerja tuntutan ketidakadilan selama ini dari masyarakat. Negara malah menyabotase rakyat yang memberinya amanah dan kepercayaan. Mau apa negara? Untuk apa negara? Mendestruksi rakyatnya sendiri dengan fasilitas dan gaji yang didapat dari rakyat yang sama?.

TERSUMBATNYA ASPIRASI
Ketakpedulian atau "masa bodoh" massal ini dapat berakhir pada sikap yang fatal dengan, misalnya, hanya mengakui kebenaran kelompok (dirinya) sendiri. Sebuah fatalisme yang segera akan diiringi tindakan ekstrem atau anarkistis sebagai destruksi sosial (personal juga, pasti itu) yang menghasilkan kehancuran dasar kebersamaan, komunalitas hingga apa yang disebut kebangsaan (nasionalisme, dalam istilah lebih sempit). Betapa miris jika ternyata Tompaso Raya ini akan hancur justru lebih disebabkan oleh faktor-faktor negatif dan destruktif dari dalam dirinya sendiri ketimbang faktor-faktor eksternal yang selama ini kita khawatirkan. Dan, menjadi satu tragedi ketika kemirisan yang terjadi itu justru tak disadari atau tidak dipahami oleh Tou Tumompaso itu sendiri. Kita tidak mengerti kenapa kita sampai pada gejala dan kecenderungan seperti itu.

Kondisi kesadaran kita yang tertutup atau terpenjara oleh kebutuhan syahwat biologis atau nafsu libido mengejar tanpa letih, dengan apa pun cara, pemasukan material untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Atau kesadaran kita termanipulasi atau terkooptasi pikiran-pikiran artifisial yang dibuat dan diinternalisasi justru untuk mengafirmasi kebutuhan-kebutuhan ber-”lebih” itu. Atau, pelbagai alasan idealistis/akademis lainnya. Namun, secara praktis, kondisi buruk dan busuk kita di atas lebih diakibatkan oleh praksis atau implementasi sistem hukum, ekonomi, dan politik kita yang terbukti tersumbat dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan tuntutan mutakhir dan nyata dari konstituen atau rakyat negeri ini. Saluran-saluran yang tersedia, dalam ketiga sistem itu, kalaupun ada, jika tidak sangat sempit lubangnya, sangat kecil pula peluangnya untuk terakomodasi. Protes, demo, kritik-kritik media massa, berbagai petisi, hingga laporan institusional lewat lembaga-lembaga negara atau swasta macam banyak LSM tidaklah efektif karena daya tawar dan daya tekannya lemah. Apalagi, banyak manuver para penjahat dan pengkhianat bangsa yang justru ingin mengerdilkan lembaga-lembaga dan saluran-saluran di atas.

Inilah realitas hidup berbangsa dan bernegara kita. Sistem ada bukan untuk merealisasikan tujuan luhur dan mulianya, menempatkan rakyat sebagai "tuan" dan pemilik kedaulatan, menyelenggarakan kesejahteraan mereka atau jadi pembela utama dari rakyat dan ibu pertiwinya. Namun, justru menjadi jebakan maut yang menjerumuskan rakyat, menjadi argumen palsu dan alibi bagi pencoleng dan perampok negara, hingga menelikung wewenang pejabat publik yang berintegritas dan berkomitmen. Hal terakhir terlihat pada banyaknya pejabat yang terpuji, karakter dan prestasinya, didakwa oleh kesalahan-kesalahan kecil yang dicari-cari, sementara gajah kesalahan pejabat-penjahat di depan mata dibiarkan.

PERJUANGAN DARI HATI NURANI
Penyumbatan yang menyeluruh inilah yang antara lain membuat masyarakat Tompaso Raya secara umum putus asa, marah secara terpendam, hingga akhirnya memunculkan frustrasi dan sikap tidak peduli, apatis. Semua itu, sekali lagi, diperkuat oleh cara berpikir dan cara hidup artifisial-manipulatif di atas, yang memaksa mereka menerima sistem itu secara given, bahkan menganggap hal given yang cilaka itu, justru menjadi sumber kebanggaan nasional.
Apa yang dapat kita perbuat dari jebakan maut dengan sang dalangnya adalah PEGE EEH.. seperti itu? Apakah kita harus menolak kalah dengan semua penyumbatan sistem itu? MAAF, TIDAK BISA, Saudaraku. Bukan karena kita tidak mampu, atau tidak mau, tapi memang secara internal kita ternyata sudah tidak lagi memiliki software atau perangkat lunak yang mampu memproses penolakan atau penentangan itu. Seperti saya tegaskan sebelumnya, semua kita terima given, dalam arti tidak hanya intelektual, mental, bahkan spiritual.

Perubahan yang mungkin terjadi secara praktis (nyata) tidak lagi mungkin terjadi secara intelektual. Karena akal sehat ternyata sama sekali tidak ampuh mengubah perilaku siapa pun. Pelanggar lalu lintas hingga koruptor sangatlah paham, dengan kecerdasan kurikulum pendidikan nasional yang dijalaninya, bahwa apa yang ia lakukan salah, dosa, dan menciptakan destruksi publik. Tapi, apa yang terjadi? Mereka tetap melakukannya. Santai, tegas, lengkap dengan manipulasi sikap (tubuh, mimik, dan pikiran) yang seakan innocence. Maka, kata-kata langsung, apalagi bergaya (simbolik, literer), atau retorika canggih tidak mempan. Begitu pun terapi mental/psikologis yang sering dilakukan para ustaz, pendeta atau kaum rohaniwan umumnya, hingga guru konseling, pelbagai lembaga terapi, ritus-ritus spiritual-formal, para penyuluh atau para motivator—yang seluruhnya berkait dengan gerakan mental—tidak memperlihatkan hasil positif-signifikan dalam mengubah perilaku jemaat, anggota, atau para peserta, baik yang gratisan maupun membayar.

Apa yang masih mungkin dilakukan tinggal pada tingkat spiritual, tingkat kebatinan, muara dari mana kita mendapat acuan hingga keyakinan tentang apa yang bisa, boleh, dan benar kita lakukan. Perubahan itu, terserah mau radikal, revolusi atau evolusioner, harus terjadi di tingkat spiritual, religius (bukan religion). Bagaimana cara? Pindah keyakinan atau pindah agama?Bukan, tentu saja bukan. Yang kita pindah bukan keyakinan atau agamanya, melainkan dasar-dasar dari apa yang membuat kita yakin dengan hati kita, percaya pada agama kita.

Dasar-dasar itu harus diganti atau dipindah, dihijrahkan, dari apa yang dimiliki sekarang (modern-kontinental, yang manipulatif artifisial) ke kesejatian (modern-tradisional, yang sejati dan nyata). Hijrah spiritual. Dengan cara, antara lain, secara berani melucuti—secara perlahan maupun cepat—sistem dan cara berpikir dan bersikap kita yang dipenuhi oleh ilmu, filosofi, hingga ideologi kontinental (yang kapitalistis-demokratis-kontinentalistis dalam hukum). Kemudian dengan kesungguhan, plus keberanian, menengok kembali khazanah ilmu dan budaya yang terpendam dalam tradisi kita.
Tradisi mana?Tidak jauh-jauh, tradisi di mana kita atau orangtua kita berasal. Akar Tompaso Lama telah melahirkan Minahasa di bumi pertiwi. Dapatkanlah dengan hati dan pikiran jernih terbuka, solusi-solusi terbaik dalam menghadapi persoalan zaman (mutakhir sekalipun) dalam tradisi-tradisi yang sebagian besar purba (dalam arti sudah bertahan dan berkembang sejak lama sekali) itu.Ramulah semua itu, dengan bagian terbaik dari pengetahuan modern-kontinental, sehingga kita menemukan rumusan baru, bahkan jati diri dan identitas baru.

Sampai akhirnya kita tahu, sejak dahulu, bangsa-bangsa di Nusantara, bahkan kemudian Indonesia, sesungguhnya dibentuk, ada, dan mampu bertahan, karena proses pembudayaan semacam itu. Maka tak ada yang lebih baik, berjuanglah dengan hati nurani sobat....
Makase.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

Tompaso Kita

Jurry Franky Langi
Yaku Ca U Si Tou Sapa-Sapa. Sapake Si Tou Niatean, Masale Touen Se Kayobaan Tumompaso Ni Myatem. Sapakem Ase Patik O Nuwu Anio Kumesot Ase Ate Wo Nontak Tou Rondor Pinatuusan Eng Kanaramen Minahasa An Tumompaso. Makakeli Mey Wo Mongken Wo Moray Kasadaran Nei Eng Kanaramenta Makakelim Pinasui Ila Wo Pakatambak-Tambak Ila. Taney Wo Rumondor Eng Sisilen Situm Eng Patik Ambiay. Muntungke Sa Awean Kinatoroan a Camo Pakasa.. 

Pee'Bo

Flag Counter

Pa'Dior

Popular Posts

Labels

Postingan Baru

Nuwu I Tua, Wo Ngeluan

  • Sa Cita Esa Sumerad, Sa Cita Sumerad Esa Cita.
  • Akad Se Tou Tumow Tou.
  • Pakamatuan Wo Pakalowiden.

Untuk Anda Saya Peduli

Butuh Bantuan Untuk Mengetahui Dan Belajar Tentang Kebudayaan Tompaso? Hubungi Saya dengan rincian tentang pertanyaan atau masukan untuk perkaya Kebudayaan Tumompaso.