CATATAN KECIL UNTUK PT PGE VS PEJUANG TUMOMPASO
Realitas aktual kadang kala menjadi mimpi buruk dan
mengganggu aktivitas dan kepentingan warga Tumompaso terkadang hanya menjadi
mainan dan candaan lucu segelintir oknum penguasa dan para ahli intelek yang
bernaung dibalik yang namanya investasi. Sebagaimana mereka pun tidak peduli
atau mempertimbangkan realitas kebutuhan hingga hak masyarakat lokal yang
seharusnya menjadi bagian penuh atas ketidakadilan selama ini. Mimpi buruk ini
ada semenjak kehadiran dengan adanya PT. PGE Area Lahendong, seharusnya nama
ini terkesan susah dan antik disebutkan namun menjadi sangat familiar ditelinga
warga Tumompaso kalangan bawah sebagai penikmat janji sorga yang termulia
dengan realisasi jauh dari harapan masyarakat.
Sudah satu dasa warsa kehadiran PGE di Tompaso raya mulai
dari praeksplorasi hingga saat ini dibulan januari 2017 sudah masuk pada tahap
produksi. Ingatkah saudara semenjak belum adanya investasi yang dikomandoi PT
PGE, kearifan lokal dengan budaya mapalus, sistem kekerabatan yang tinggi,
hingga penghormatan pada sesama Tou Tumompaso kini mulai tergerus hingga
mengarah pada perpecahan sesama Tou Tumompaso hingga egosentris berlebihan
mulai menggejala dan menjadi tontonan sehari-hari. Pengkotak-kotakan warga
lokal amat berhasil dilakukan mereka sebagai amunisi jitu pemasukan menyeluruh
atas nama investasi apalagi dengan label perusahaan BUMN. Hal dan senjata yang
seharusnya tak terjadi didaerah urban atau perkotaan dengan kepentingan hingga
egosentris pribadi tinggi.
Dengan beberapa kali revisi UU, PP hingga aturan turunan
sampai tingkat paling bawah didaerah ada regulasi yang jelas disana tentang hak
dan kewajiban, peran pemerintah dan masyarakat sampai pengawalan dan penegakan
hukum diatur disana. Memang sudah banyak (menurut pge) yang sudah diberikan pada
masyarakat. Anda ingat adanya bantuan alat pertanian yang ujung-ujungnya dijual
demi kepentingan pribadi oknum hukum tua, bantuan kursi dan alat dapur yang
sekali lagi diselewengkan oknum hukum tua, bantuan pendidikan peranak yang
hanya lima belas ribu rupiah tetapi gaungnya begitu besar, serta pemberian
bantuan pada kelompok tani yang itu-itu saja, hingga pemberian bantuan yang
tidak merata perdesa semuanya dikemas dengan satu tujuan telah terlaksananya
program CSR perusahaan untuk masyarakat.
Yang mengusik pula akan kesadaran kita akan perampasan aset
masyarakat yaitu jalan Sinokot hingga perusakan lingkungan dengan matinya 7
mata air di Tompaso yang salah satunya adalah mata air Kamanga atau “Rano
Kasuruan” yang menjadi aset budaya lokal Tumompaso. Ketimpangan dan praktek
selama ini seharusnya tak terjadi jika negara hadir disana, pemerintah Kab.
Minahasa seakan terlalu lemah mengawal hal ini yang seharusnya lewat kepanjang
tangannya dalam hal ini camat Tompaso bahkan terkesan menjadi musuh Masyarakat
bahkan pasang badan membela PGE.
Sungguh ironis hal ini dibiarkan terjadi bahkan didepan mata
pemerintah kesalahan serupa masih saja berani dilakukan sebagai contoh
penanaman ribuan pohon dengan program penghijauan di wilayah Tompaso Raya
dengan acara dan simbolisasinya sungguh megah, ramai dan spektakuler dengan
hadirnya seluruh pejabat pemkab Minahasa dan petinggi pemerintahan di daerah
ini. Kelanjutan program penghijauan ini berhenti bahkan diindikasi dikorupsi
karena penanaman pohon ini tak dilanjutkan hingga sekarang.
PGE saat ini pasca produksi menghadirkan pula ekses dan
potensi kericuhan baru lewat perekrutan tenaga kerja. Klaim dan jatah
perorangan lewat penempatan tenaga kerja seakan sudah dikapling segelintir
oknum penguasa pemerintahan sampai hukum tua, oknum pejabat PGE sampai rekanan
perusahaan seakan menjadi kristalisasi atas nama kolusi memberangus hak
masyarakat lokal yang sesungguhnya harus diberdayakan. Indikasinya mungkin
terbaca lewat dua kali test perekrutan dimana test perekrutan pertama hanya dilakukan
+70 orang secara diam-diam, namun belakangan setelah dikomplain test kedua
dilakukan pengumuman secara terbuka sehingga dapat diikuti + 1600 peserta.
APATISME TOU TUMOMPASO
Hal-hal tersebut diatas mungkin bisa menjadi representasi
dari fenomena mutakhir akan ketidakpedulian, yang dalam jenis atau tingkat
tertentu bisa jadi semacam apatisme (rakyat) pada masalah sosial kita yang kian
berat dan rumit. Situasi atau gejala ini menengarai beberapa fakta dan gejala
sosial lain, seperti semakin kuatnya egoisme—dalam pengertian sikap
individualistis—dalam diri (Tou Tumompaso) kita. Tentu saja realitas psikologis
Tou Tumompaso di paksakan menjadi wilayah urban, itu jadi alarm kuat luntur
atau lenyapnya salah satu sifat utama (dan luhur) Tou Tumompaso yang diakui,
yakni gotong royong, suatu cara hidup di mana persaudaraan, kebersamaan, atau
kesetaraan antarmanusia termaktub di dalamnya. Ini juga indikasi bagi
ketakberdayaan, frustrasi, putus asa, disorientasi, semua bahan ramuan yang
menghasilkan adonan apatisme (sosial) Tompaso kita.
Apa yang getir dan cukup mencemaskan adalah bahwa apatisme
itu juga terjadi pada perihal-perihal yang sangat vital dalam kehidupan kita
kini. Banyak contohnya: pada umumnya mulai dari kongkalikong politik,
konspirasi bisnis-politik dalam berbagai kontrak dengan perusahaan besar,
politik uang yang tetap efektif memuluskan para koruptor dan penjahat politik
mendapatkan kekuasaan, penegakan hukum yang sangat lemah dan tebang-pilih,
ketakhadiran negara dalam berbagai kasus yang mengorbankan rakyat kecil, hingga
pembiaran oleh aparat keamanan terhadap pelanggaran dan kejahatan terhadap
masyarakat oleh segelintir orang akan penghisapan kekayaan lokal dan kejahatan
terhadap nyawa masyarakat. Negara ternyata hadir bukan untuk melindungi dan mengamankan
kerja tuntutan ketidakadilan selama ini dari masyarakat. Negara malah
menyabotase rakyat yang memberinya amanah dan kepercayaan. Mau apa negara?
Untuk apa negara? Mendestruksi rakyatnya sendiri dengan fasilitas dan gaji yang
didapat dari rakyat yang sama?.
TERSUMBATNYA ASPIRASI
Ketakpedulian atau "masa bodoh" massal ini dapat
berakhir pada sikap yang fatal dengan, misalnya, hanya mengakui kebenaran
kelompok (dirinya) sendiri. Sebuah fatalisme yang segera akan diiringi tindakan
ekstrem atau anarkistis sebagai destruksi sosial (personal juga, pasti itu)
yang menghasilkan kehancuran dasar kebersamaan, komunalitas hingga apa yang
disebut kebangsaan (nasionalisme, dalam istilah lebih sempit). Betapa miris
jika ternyata Tompaso Raya ini akan hancur justru lebih disebabkan oleh
faktor-faktor negatif dan destruktif dari dalam dirinya sendiri ketimbang
faktor-faktor eksternal yang selama ini kita khawatirkan. Dan, menjadi satu
tragedi ketika kemirisan yang terjadi itu justru tak disadari atau tidak dipahami
oleh Tou Tumompaso itu sendiri. Kita tidak mengerti kenapa kita sampai pada
gejala dan kecenderungan seperti itu.
Kondisi kesadaran kita yang tertutup atau terpenjara oleh
kebutuhan syahwat biologis atau nafsu libido mengejar tanpa letih, dengan apa
pun cara, pemasukan material untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Atau
kesadaran kita termanipulasi atau terkooptasi pikiran-pikiran artifisial yang
dibuat dan diinternalisasi justru untuk mengafirmasi kebutuhan-kebutuhan
ber-”lebih” itu. Atau, pelbagai alasan idealistis/akademis lainnya. Namun,
secara praktis, kondisi buruk dan busuk kita di atas lebih diakibatkan oleh
praksis atau implementasi sistem hukum, ekonomi, dan politik kita yang terbukti
tersumbat dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan tuntutan mutakhir dan
nyata dari konstituen atau rakyat negeri ini. Saluran-saluran yang tersedia,
dalam ketiga sistem itu, kalaupun ada, jika tidak sangat sempit lubangnya,
sangat kecil pula peluangnya untuk terakomodasi. Protes, demo, kritik-kritik
media massa, berbagai petisi, hingga laporan institusional lewat
lembaga-lembaga negara atau swasta macam banyak LSM tidaklah efektif karena
daya tawar dan daya tekannya lemah. Apalagi, banyak manuver para penjahat dan
pengkhianat bangsa yang justru ingin mengerdilkan lembaga-lembaga dan
saluran-saluran di atas.
Inilah realitas hidup berbangsa dan bernegara kita. Sistem
ada bukan untuk merealisasikan tujuan luhur dan mulianya, menempatkan rakyat
sebagai "tuan" dan pemilik kedaulatan, menyelenggarakan kesejahteraan
mereka atau jadi pembela utama dari rakyat dan ibu pertiwinya. Namun, justru
menjadi jebakan maut yang menjerumuskan rakyat, menjadi argumen palsu dan alibi
bagi pencoleng dan perampok negara, hingga menelikung wewenang pejabat publik
yang berintegritas dan berkomitmen. Hal terakhir terlihat pada banyaknya
pejabat yang terpuji, karakter dan prestasinya, didakwa oleh
kesalahan-kesalahan kecil yang dicari-cari, sementara gajah kesalahan
pejabat-penjahat di depan mata dibiarkan.
PERJUANGAN DARI HATI NURANI
Penyumbatan yang menyeluruh inilah yang antara lain membuat
masyarakat Tompaso Raya secara umum putus asa, marah secara terpendam, hingga
akhirnya memunculkan frustrasi dan sikap tidak peduli, apatis. Semua itu,
sekali lagi, diperkuat oleh cara berpikir dan cara hidup artifisial-manipulatif
di atas, yang memaksa mereka menerima sistem itu secara given, bahkan
menganggap hal given yang cilaka itu, justru menjadi sumber kebanggaan
nasional.
Apa yang dapat kita perbuat dari jebakan maut dengan sang
dalangnya adalah PEGE EEH.. seperti itu? Apakah kita harus menolak kalah dengan
semua penyumbatan sistem itu? MAAF, TIDAK BISA, Saudaraku. Bukan karena kita
tidak mampu, atau tidak mau, tapi memang secara internal kita ternyata sudah
tidak lagi memiliki software atau perangkat lunak yang mampu memproses
penolakan atau penentangan itu. Seperti saya tegaskan sebelumnya, semua kita
terima given, dalam arti tidak hanya intelektual, mental, bahkan spiritual.
Perubahan yang mungkin terjadi secara praktis (nyata) tidak
lagi mungkin terjadi secara intelektual. Karena akal sehat ternyata sama sekali
tidak ampuh mengubah perilaku siapa pun. Pelanggar lalu lintas hingga koruptor
sangatlah paham, dengan kecerdasan kurikulum pendidikan nasional yang
dijalaninya, bahwa apa yang ia lakukan salah, dosa, dan menciptakan destruksi
publik. Tapi, apa yang terjadi? Mereka tetap melakukannya. Santai, tegas,
lengkap dengan manipulasi sikap (tubuh, mimik, dan pikiran) yang seakan
innocence. Maka, kata-kata langsung, apalagi bergaya (simbolik, literer),
atau retorika canggih tidak mempan. Begitu pun terapi mental/psikologis yang
sering dilakukan para ustaz, pendeta atau kaum rohaniwan umumnya, hingga guru
konseling, pelbagai lembaga terapi, ritus-ritus spiritual-formal, para penyuluh
atau para motivator—yang seluruhnya berkait dengan gerakan mental—tidak
memperlihatkan hasil positif-signifikan dalam mengubah perilaku jemaat,
anggota, atau para peserta, baik yang gratisan maupun membayar.
Apa yang masih mungkin dilakukan tinggal pada tingkat
spiritual, tingkat kebatinan, muara dari mana kita mendapat acuan hingga
keyakinan tentang apa yang bisa, boleh, dan benar kita lakukan. Perubahan itu,
terserah mau radikal, revolusi atau evolusioner, harus terjadi di tingkat
spiritual, religius (bukan religion). Bagaimana cara? Pindah keyakinan atau
pindah agama?Bukan, tentu saja bukan. Yang kita pindah bukan keyakinan atau
agamanya, melainkan dasar-dasar dari apa yang membuat kita yakin dengan hati
kita, percaya pada agama kita.
Dasar-dasar itu harus diganti atau dipindah, dihijrahkan,
dari apa yang dimiliki sekarang (modern-kontinental, yang manipulatif
artifisial) ke kesejatian (modern-tradisional, yang sejati dan nyata). Hijrah
spiritual. Dengan cara, antara lain, secara berani melucuti—secara perlahan
maupun cepat—sistem dan cara berpikir dan bersikap kita yang dipenuhi oleh
ilmu, filosofi, hingga ideologi kontinental (yang
kapitalistis-demokratis-kontinentalistis dalam hukum). Kemudian dengan
kesungguhan, plus keberanian, menengok kembali khazanah ilmu dan budaya yang
terpendam dalam tradisi kita.
Tradisi mana?Tidak jauh-jauh, tradisi di mana kita atau
orangtua kita berasal. Akar Tompaso Lama telah melahirkan Minahasa di bumi
pertiwi. Dapatkanlah dengan hati dan pikiran jernih terbuka, solusi-solusi
terbaik dalam menghadapi persoalan zaman (mutakhir sekalipun) dalam
tradisi-tradisi yang sebagian besar purba (dalam arti sudah bertahan dan
berkembang sejak lama sekali) itu.Ramulah semua itu, dengan bagian terbaik dari
pengetahuan modern-kontinental, sehingga kita menemukan rumusan baru, bahkan
jati diri dan identitas baru.
Sampai akhirnya kita tahu, sejak dahulu, bangsa-bangsa di
Nusantara, bahkan kemudian Indonesia, sesungguhnya dibentuk, ada, dan mampu
bertahan, karena proses pembudayaan semacam itu. Maka tak ada yang lebih baik,
berjuanglah dengan hati nurani sobat....
Makase.
0 komentar:
Posting Komentar