Thomas Hobbes, Richard Dawkins bicara ‘Kita Dulu Baru Ngana’
Refleksi Tompasso KINI
Ada yang berbeda terjadi pada hari Minggu kemarin, tepatnya
dirumah saudara Lody Jenny Momongan didesa Kamanga. Ketika beberapa orang saja
yang cuma kebetulan lewat sambil tegur sapa awalnya berubah menjadi perjumpaan
serius yang tidak hanya saling meretweet memori masa lalu namun berkembang pada
arah pembicaraan yang lebih kompleks sampai topic social masyarakat Tompasso
keseluruhan. Seriusnya pembicaraan patut diapresiasi, dari awal tiga orang
berkembang menjadi belasan orang. Waktu pembicaraan diawali sejak petang hari,
berakhir pada jam 01.00 dini hari senin. Begitu beragamnya pendapat dan saran
menunjukan cemerlangnya potensi sumber daya insane Tompasso dalam mengulas dan
menyikapi kondisi yang terjadi baik dari tingkat nasional apalagi di desa.
Kehadiran insane Tompasso dari desa Tember, Kamanga, Kamanga Dua, Tonsewer,
Talikuran, Sendangan hingga Tempok memberi sisi lain pertemuan itu. Latar
belakang keilmuan mewarnai solusi pemecahan masalah. Apalagi kehadiran aktivis
mahasiswa dan Ormas serta Lsm memberi input dan output sempurna akan perjumpaan
ini. Model pembelajaran disini memang agak unik dan langka ditemui ditempat
lain, berkumpulnya tokoh social yang terjadi saat itu agak mengejutkan tatkala
lewat bisikan teman saya yang mengatakan “orang orang Tompasso memang
jago-jago”. Jago disini dalam konteks pintar atau Ngaas’an, sehingga decak
kagum kawan saya dari Manado tersebut selalu dia tandakan dengan mengangkat
jempol dan diarahkan secara sembunyi-sembunyi sambil manggut-mangut kearah
saya, ckckckck ca gampang.
Selang tiga jam pembicaraan belum seorangpun beranjak
ditempatnya masing-masing hingga suatu pernyataan mengejutkan disampaikan oleh
sang mantan Hukum Tua Tember bapak Maxi Sondakh yaitu ‘Kita Dulu Baru Ngana’.
Empat kata ini memang sederhana dan kerap kita dengar tapi menjadi menarik
dikala pernyataannya menjadi symbol diri pribadi bahkan justifikasi Tompasso
secara keseluruhan. Pengakuan tendensius bahkan mengarah provokatif dilontarkan
namun penilaian dan kejujuran hati patut dibanggakan, mungkinkah gambaran
Tompasso sudah seperti ini sekarang…? Mungkin bagi penyandang status social di
masyarakat hingga mereka yang berada di zona nyaman “atas nama masyarakat demi
kepentingan saya” akan biasa-biasa saja bahkan tidak peduli. Layaknya harmoni
lagu menjadikan perbincangan ini menjadi lebih hidup dan penuh semangat lewat
alunan nada yang tinggi dan rendah.
‘Kita Dulu Baru Ngana’ identik dengan “EGOISME” Inilah yang
menjadi topic bahasan saya…
Thomas Hobbes, seorang filsuf asal Inggris beranggap jika
manusia adalah makhluk yang begitu kejam. Sehingga bagi Hobbes sendiri, setiap
manusia pada dasarnya egois. Manusia mampu bertindak kejam pada orang lain
untuk memenuhi kehendaknya. Sedangkan Richard Dawkins, ahli zoology Oxford
memberi metafora “egois” kepada gen. Metafora tersebut mungkin memiliki irisan
terhadap apa yang ada dalam pandangan Hobbes. Dawkins menyatakan itu di sekitar
tahun 1976 dalam karyanya yang berjudul, The Selfish Gene. Apa yang telah
diungkapkan oleh Dawkins kadang dipahami secara keliru, bahwa kita dipenuhi
dengan sel egois. Dan kita sepenuhnya dikendalikan oleh gen itu sehingga
menggoyahkan moralitas dan kehendak bebas kita. Pemahaman tersebut tentunya
keliru. Dawkins pun menyadari telah gagal untuk memberikan penjelasan kepada
khalayak umum waktu itu. Dawkins pun meluruskan metaforanya itu bahwa, manusia
modern mampu mengendalikan gen egois karena memiliki akal budi.
Kemampuan manusia untuk mengendalikan dirinya adalah sesuatu
hal penting dalam bidang ilmu psikologi. Ketidakmampuan kita dalam
mengendalikan diri itu, mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Hobbes
berpadangan bahwa manusia itu kejam. Masih banyak di sekitar kita yang tidak menggunakan
akal budi dengan baik. Hingga akhirnya, mereka dikendalikan oleh sesuatu di
luar dari dirinya. Peristiwa “Perjuangan Kecil” yang dialami pribadi saya
bersama Sembilan orang yang lain pada tahun 2010 Silam di Tompaso Dua menjadi
bukti dari kejamnya manusia. Lewat kami saluran aspirasi masyarakat petani
menuntut ganti rugi matinya Sembilan sumber mata air di Tompasso yang mengaliri
tanah persawahan rakyat yang dilakukan oleh PT Pertamina Geothermal Energi Area
Lahendong. Kelompok kami bahkan diserang dua ratusan orang yang dikomando oleh
mantan Camat Tompasso saat itu Bpk Moudy Pangerapan hingga korban luka
berjatuhan. Sayangnya pelaku dan korban adalah sesama saudara kita Tumompaso.
Hari ini, dengan mudahnya kita dapatkan manusia yang
menghalalkan segala cara untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Bahkan hanya
atas nama Pimpinan Ormas di kecamatan, Pimpinan Partai di Kecamatan, hingga
atas nama rakyat jabatan sebagai Hukum Tua digadaikan demi kepentingan diri,
hingga penetrasi pengkhiatan demi memuaskan orgasme seks ontak duit pribadinya.
Masa seperti ini begitu mencemaskan dan menakutkan. Nantinya Nyawa mungkin tak
lagi diperhitungkan. Kepentingan di atas segalanya. Manusia hari ini mungkin
saja akan membuktikan anggapan orang yang keliru pada istilah gen egois. Namun
yang tak kalah lebih kejamnya adalah aparat hukum yang menjadi benteng atas
nama kapitalis serta pemerintah yang selalu saja tak mampu bersikap tegas
bahkan cenderung menjadi dirigen ketimpangan masyarakatnya. Di bangsa kita ini, ada hal yang mampu mengendalikan
keadilan di luar dari keadilan itu sendiri, uang misalnya. Istilah UUD yang
seringkali diplesetkan menjadi “Ujung - Ujungnya Duit” membuktikan mental dan
pola pikir sebagian besar bangsa ini. Apalagi yang mesti diharapkan jika hampir
seluruh sektor telah diserang dengan kondisi seperti ini? Mirisnya lagi, materi
menjadi sesuatu yang menggerakkan manusia.
Kemampuan dan kesempatan kita dalam melatih ketulusan pun
hilang dengan sendirinya. Ini tentu saja akan menjadi penyakit mental yang
layak mendapat perhatian. Bagaimana lingkungan telah membentuk sebagian orang
berorientasi pada materi dan selalu diajarkan untuk menjadi lebih egois.
Kepentingan di atas segala kepentingan akan selalu digunakan dan diaplikasikan.
Jika kembali pada Dawkins, kita patut mencatat dan mempelajari temuannya.
Bertahun - tahun, Dawkins mencoba meluruskan makna gen egois yang sebenarnya.
Ia selalu beranggapan jika manusia selalu memiliki kekuatan untuk menjadi lebih
baik dengan kendali yang ditemukan dari dalam diri sendiri. Hal menarik lainnya
dari buku The Selfish Gene ada pada bagian bab terakhir. Pada bab terakhir,
Dawkins membandingkan budaya dan genetika. Selain gen yang dapat diwariskan,
budaya kita pun dapat diwariskan. Tentu saja membuktikan apa yang dikatakan
Dawkins dapat kita mulai dengan melihat kondisi Tompasso hari ini. Jika dulu
kita kerap menemukan budaya nepotisme, kemungkinan budaya itu menular dan
dilestarikan. Terlebih jika sebagian dari kita merasa nyaman dan tak merasa
bersalah atas keadilan. Hanya saja, kita tetap wajib memiliki harapan pada
manusia - manusia yang berhasil lolos dari perangkap waktu dan lingkungan.
Meskipun tak jarang kondisi memaksa kita menjadi pesimis,
namun pada suatu waktu kita akan membuktikan apa yang dikatakan Dawkins pada
kalimat terakhir bukunya, “Kitalah satu - satunya di bumi yang bisa memberontak
terhadap tirani replikator egois.”
#Saruntawaya..
Amurang 15/05/2016
0 komentar:
Posting Komentar