Oleh : Jurry F Langi.
Tengah Minahasa yang sering disebut “Pused In Tana Minaesa”
yang kini tak lain secara administrative pemerintahan berada di Kecamatan
Tompaso dan Tompaso Barat merupakan wilayah yang menyimpan sejarah sangat luar
biasa bagi Negeri Minahasa. Telah banyak yang diungkap namun masih terlalu
banyak yang tersembunyi bahkan sengaja disembunyikan setelah tergerus dengan
agama syiar selama ini di Tanah Minahasa atau kurang pekanya Instansi
Pemerintah terkait seperti Balai Arkeologi Manado, dinas Dikbud, atau
pegiat-pegiat budaya kesohor di bumi Toar-Lumimuut.
Tompaso Raya merupakan wilayah yang nyaris tidak tersentuh
historiografi,khususnya sejarah masa klasik atau kuno yang kentara paling hanya
sebatas Watu Pinawetengan dan Watu Tumotowa Saja. Historistas Tompaso selama
ini hanya berkutat pada fregmen materi-materi dan berupa mozaik yang perlu
ditata dan direkonstruksi kembali. Patut diakui bahwa historiografi Tompaso
merupakan bagian yang sangat signifikan dari penguatan kearifan dan kecerdasan
lokal. Selain itu juga merupakan pengenalan budaya serta sejarah Tompaso yang
selama ini tidak pernah tampil dalam pentas buku-buku tentang Minahasa, jikapun
ada hanya sebatas catatan kaki saja.
Penemuan Watu Tuur Kamanga.
Penemuan batu ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan
karena letaknya masih di pinggiran desa yang dijadikan lokasi perkebunan warga
sekitar. Dahulunya batu ini terletak diatas punggung bukit kecil dibagian barat
batu ini namun akibat abrasi dan sering digunakannya lahan sekitar untuk
pertanian hingga Watu Tuur Kamanga meluncur ke bagian timur.
Watu Tuur Kamanga memang sudah banyak kali diceritakan warga
seputaran Tompaso Raya namun letak tepatnya batu tersebut tinggal sedikit yang
tahu. Watu ini berumur atau seusia dengan Watu Pinawetengan dan Watu Tumotowa
seperti yang diungkap pemerhati budaya Bpk John Mamesah. Sepenggal kisah
dituturkan para tetua Tompaso Raya bahwa Watu Tuur Kamanga adalah “Watu Lempar” atau altar agung tempat
pemberian persembahan pada “Amang Kasuruan Wangko” karena dari sinilah segala
persembahan disampaikan dimana di tempat ini pulalah segala berkat di curahkan.
Karena sesuai dengan pengertian nama Watu Tuur Kamanga yaitu ‘Batu pokok atau
utama untuk Berkat dariNya’.
Penemuan Watu Rumeindeng.
Penemuan batu Ini sebenarnya yang paling mengejutkan,
dibilang mengejutkan karena letak batu ini ditemukan di tengah hutan lebat
didaerah Tompaso yang masih kadang dijamah manusia sebelumnya bahkan mungkin
setelah kami temukan secara tidak sengaja. Disamping letaknya sangat sulit
dimana harus dua kali melewati sungai serta tanjakan dengan kemiringan 65
derajat dan diharuskan membuat jalan baru yang sebelumnya tidak ada. Ditengah
hari dengan kondisi lapar dan lelah suatu kejutan terbayar lunas setelah
ditemukannya Watu Rumeindeng ini.
Watu Rumeindeng dikenal sebagai altar suci saman dahulu
dimana watu ini di gunakan para Walian Mangorai memohon berkat pada Amang
Kasuruan Wangko, meminta petunjuk pada para Roh leluhur bahkan digunakan
sebagai altar pengesahan sumpah para Taranak Minahasa tempo dulu.
Watu ini juga digunakan oleh Tumitiwa atau ada yang
menyebutnya sebagai Kamang Kala bahkan watu ini juga memiliki nama lain sebagai
Watu Tumitiwa dimana watu ini dijadikan lokasi “Pengadilan” untuk pengambilan
keputusan terakhir bagi setiap orang yang melanggar adat tradisi dan budaya
Minahasa dahulu.
Tataar :
1. Kepada Instansi pemerintah terkait yaitu Balai Arkeologi Manado:
Sesuai dengan Tugas dan Fungsi (SK baru No. 56/2012)
Balai Arkeologi mempunyai tugas penelitian benda arkeologi
di wilayah kerjanya. Dalam melaksanakan tugasnya, Balai Arkeologi
menyelenggarakan fungsi fungsi:
a. pencarian benda-benda arkeologi;
b. pelaksanaan analisis dan interpretasi benda-benda
arkeologi;
c. perawatan dan pengawetan benda arkeologi hasil
penelitian;
d. publikasi dan dokumentasi hasil penelitian benda-benda
arkeologi; dan
e. pelaksanaan urusan ketatausahaan Balai.
Penemuan-Penemuan diatas seharusnya menjadi salah satu
koleksi Cagar Budaya yang seharusnya dilestarikan. Saat ini Cagar Budaya di
Minahasa yang sudah dipugar juga belum menunjukkan jumlah yang signifikan
dibandingkan dengan Cagar Budaya yang mengalami kerusakan. Mengingat sebagian
besar Cagar Budaya di Indonesia terletak di open air (udara terbuka) yang
langsung bersentuhan dengan faktor air,
cuaca (suhu, kelembapan, angin), maka bahan dasar yang digunakan untuk Cagar
Budaya tersebut akan cepat mengalami proses kerusakan dan pelapukan. Masalah
lain adalah masih banyaknya Cagar Budaya (termasuk di dalamnya Cagar Budaya
bawah air) yang terancam hilang dan rusak, karena belum dilindungi secara
hukum.
Menyikapi hal ini dikhawatirkan Cagar Budaya yang sudah
mengalami kerusakan jika tidak segera diperbaiki/dipugar, maka lambat laun
kerusakannya akan semakin bertambah parah. Sementara Cagar Budaya/situs yang
dipelihara masih sangat terbatas terutama untuk Cagar Budaya dan situs-situs
yang terletak di wilayah Tompaso sebagai miniatur. Ini sudah barang tentu harus menjadi
perhatian dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Upaya pemeliharaan
rutin terhadap Cagar Budaya dimaksudkan untuk menjaga agar kondisi
keterawatannya tetap terjamin.
2. Tim yang ikut dalam pencarian dan semua orang yang mengetahui benda ini:
Untuk sementara dilarang untuk mempubliasikan secara luas
lokasi tepat adanya Cagar Budaya ini untuk menghindari terjadinya pengrusakan
dari orang-orang yang tak bertanggung jawab, sebelum di tangani pihak terkait
terutama instansi pemerintah.
Semoga Bermaanfaat,Pakamatuan Wo Pakalowiden cit aim baya.
Terima Kasih Disampaikan Kepada: John Mamesah,
Steven Tumundo dan Randy Terok atas kerja samanya.
Gali terus kebudayaan dan peninggalan nya di tana para leluhur minahasa dan jadikan itu sebagai pusat kebudayaan minahasa agar dapat di jadikan destinasi wisata untuk menambah PAD yang tentu akan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat .Dan tetap menjaga lingkungan supaya tetap prinsip ecowisata. Dan awasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah setempat. Bravo Tompasso.
BalasHapus